Surat Terbuka Untuk Ahok (Premanisme di Jakarta)
Dear Pak Ahok,
Alasan saya untuk memilih menggunakan kendaraan pribadi daripada
kendaraan umum bukannya karena saya mampu atau gengsi, tetapi karena saya
merasa lebih aman menggunakan kendaraan pribadi seperti mobil atau motor
pribadi ketimbang kendaraan umum.
Berikut kasus pemerkosaan yang saya kutip dari berita, di kutip
tanggal 10 September 2014
dan
Memang, kendaraan pribadi juga memiliki resiko sendiri, seperti di
lempari telur pada kaca depan mobil, dilempari batu oleh pencuri atau ban yang
dikempesi oleh pencuri, bahkan biaya yang dikeluarkan untuk menggunakan
kendaraan pribadi juga lebih banyak, belum lagi capek karena harus menyetir
kendaraan sendiri. Bagi yang lebih mampu, biasanya menggunakan supir pribadi
(biaya tambahan lagi). Tetapi saya lebih memilih untuk mengeluarkan biaya ini
karena saya merasa lebih aman.
Biaya yang saya keluarkan untuk membeli bensin dan biaya perawatan
kendaraan pribadi memang lebih mahal, tetapi biaya-biaya tersebut saya anggap
sebagai biaya “investasi”. Bayangkan apabila (amit-amit) terjadi pemerkosaan
ketika saya sedang menggunakan kendaraan umum atau saya kemalingan ketika
menggunakan kendaraan umum, maka biaya yang saya keluarkan akan lebih besar.
Terlebih lagi dengan beban psikologis yang akan saya tanggung, akan butuh waktu
yang cukup lama bisa bertahun-tahun atau bahkan separuh dari umur saya
dihabiskan untuk kembali menjadi pribadi yang “sehat”.
Kasus premanisme di Jakarta saya anggap menjadi masalah yang cukup
serius dan perlu ditangani terlebih dahulu apabila ingin mengarahkan masyarakat
Jakarta untuk menggunakan kendaraan umum.
Dulu, saya pernah merasakan keamanan ketika menggunakan kendaraan
umum beberapa bulan setelah kasus yang dialami oleh Mahasiswa Binus yang
diperkosa hingga meninggal. Semua supir-supir kendaraan umum menggunakan
seragam dan tanda pengenal. Mengetahui supirnya adalah supir yang terdaftar,
saya merasa aman. Namun supir-supir kendaraan umum di Jakarta saat ini sudah
tidak menggunakan seragam dan tidak menggunakan tanda pengenal lagi. Bahkan
foto yang ada di tanda pengenal dan wajah aslinya berbeda (menggunakan tanda
pengenal milik orang lain). Mengetahuinya hal ini, saya berhenti menggunakan
kendaraan umum.
Saya selama 7 tahun menggunakan sepeda untuk pergi ke sekolah
saya. Bahkan, saya terkadang berjalan kaki, karena jarak dari rumah ke sekolah
tidaklah jauh. Dengan kemajuan jaman dan teknologi, saya kini menggunakan
sepeda listrik ke sekolah. Lebih efisien dari segi waktu (karena kecepatannya
bisa lebih cepat, sehingga lebih cepat sampai di sekolah) dan saya tidak capek
untuk menggowes sepeda (meskipun seni dari menggunakan sepeda adalah
menggowes). Namun, saya halnya dengan kendaraan umum, sepeda tidak luput dari
premanisme. Ketika saya menggunakan sepeda, banyak preman-preman di pinggir
jalan yang mengulurkan tangannya dan berharap bisa menyentuh salah satu anggota
tubuh saya atau memanggil-manggil dengan sebutan “neng” atau “dek”.
Sekali lagi yang ingin saya tekankan disini adalah, apabila ingin
masyarakat Jakarta menggunakan kendaraan umum ketimbang kendaraan pribadi,
bukan dengan pendekatan menaikkn harga BBM, bukan dengan menaikkan pajak
kendaraan pribadi, bukan dengan membatasi pemasukan kendaraan pribadi ke
Indonesia, tetapi dengan mengurangi premanisme di Jakarta dan memperbaiki
fasilitas-fasilitas umum di Jakarta. Mungkin dengan pemasangan CCTV, mengambil
foto dari setiap warga Jakarta (Sudah dilakukan dengan e-KTP) bisa membantu.
Ketika ada kejahatan kriminal, bisa langsung diadukan kapan kejadiannya dan
dimana, dengan adanya CCTV, maka penyelidikan kasus kriminal bisa lebih mudah
untuk diselidiki. Penambahan jumlah polisi di Jakarta juga bisa membantu beban
polisi yang sudah ada dan membuat masyarakat Jakarta merasa lebih aman.
Sekian surat terbuka dari saya. Terima kasih atas waktu yang
diluangkan untuk membacanya.
Wassalam.
Untuk pembicaraan lebih lanjut atau pertanyaan, bisa ditanyakan
melalui tikasam1706@gmail.com
Comments
Post a Comment